Logo Saibumi

Peristiwa Talang Sari 1989, Korban Tolak Keputusan Presiden Hingga TPP HAM

Peristiwa Talang Sari 1989, Korban Tolak Keputusan Presiden Hingga TPP HAM

Saibumi.com (SMSI), Bandar Lampung - Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo resmi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Non-Yudisial (PPHAM). Penetapan tersebut dilakukan sejak 26 Agustus 2022.

 

Keppres tersebut diterbitkan bertujuan untuk membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu non-yudisial. Dikarenakan, Pemerintah menilai hingga saat ini pelanggaran HAM berat masa lalu belum terselesaikan secara tuntas, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

BACA JUGA: Bantuan Untuk Kelompok UMKM di Bandar Lampung, Begini Penjelasan Wali Kota 

 

Dengan demikian, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara independen, objektif, cermat, adil dan tuntas harus dilakukan. Meskipun menggunakan upaya alternatif selain mekanisme yudisial.

 

Sementara itu di Provinsi Lampung, Selasa 15 November 2022 Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM), berkunjung dan melaksakan Focus Group Discussion (FGD) terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat dimasa lalu di Hotel Golden Tulip, Bandar Lampung, adapun peristiwa tersebut ialah perkara peristiwa Talang Sari, Way Jepara, Lampung Timur.

 

Saat FGD Ketua TPP HAM, Makarim Wibisono mengatakan, penyelesaian tersebut dilaksanakan secara Non-Yudisial, berdasarkan tindaklanjut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022. Nantinya hasilnya, nantinya dalam bentuk laporan dan rekomendasi ke pemerintah, utamanya Presiden RI Joko Widodo pada 31 Desember 2022.

 

"Dari Keppres tersebut, kami sepakat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM lewat non yudisial. Sehingga hasil dari tim ini membuat simpulan dan rekomendasi untuk memulihkan korban, agar pelanggaran HAM berat itu tidak terjadi lagi," ungkapnya. 

 

Kemudian, adapun tugas dari tim TPP HAM ada tiga yaitu mengungkap dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lewat non yudisial. Lalu merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, dan membuat rekomendasi agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi.

 

Sementara itu, Pakar Hukum Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (HTN UGM) Zainal Arifin Mochtar menyampaikan, penyelesaian non yudisial diharapkan menjadi alternatif dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat. 

 

"Kami sempat pesimis terhadap pemerintah dan kejaksaan, apakah rekomendasi ini dilaksanakan atau tidak. Langkah ini diambil, agar korban tidak jatuh berkali-kali, dan mendapatkan hak-haknya sebagai korban," jelasnya.

 

Meski demikian, Zainal menilai dengan adanya Keppres tersebut, tidak bersifat menghilangkan pengadilan. Pihaknya juga mendorong negara, untuk mengakui terjadinya pelanggaran HAM dan nanti tim memikirkan apakah ada prosesi pengakuan dan permintaan maaf.

 

Menanggapi hal tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bandar Lampung menyatakan, bahwa pihaknya menolak dengan adanya Keppres penyelesaian perkara peristiwa diselesaikan dengan Non-Yudisial. 

 

"Sikap LBH Bandar Lampung dan Komunitas Semalam, kami menolak TPP HAM ini karena Keppres tidak berdasar bertentangan Undang-Undang pengadilan HAM. Kami menolak adanya penyelesaian dengan cara non yudicial," tegas Cik Ali selaku Wakil Direktur YLBHI Bandar Lampung. 

 

Selain YLBHI Bandar Lampung, penolakan juga diutarakan Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) Edi Arsadad, menurutnya pihaknya telah sepakat agar penyelesaian pelanggaran HAM berat Talangsari untuk diselesaikan lewat Pengadilan HAM. 

 

Selanjutnya, Mereka juga menuntut pemerintah meminta maaf, mengakui pelanggaran HAM berat, mengembalikan hak-hak korban dan memulihkan martabat korban.

 

"Kami sudah bertemu TPP HAM, secara tegas keluarga korban menolak penyelesaian non yudicial oleh tim ini. Karena kami dari awal peristiwa kasusnya harus diselesaikan lewat jalur pengadilan HAM," tegasnya. 

 

Edi menyampaikan, saat itu pernah ada deklarasi damai yang diklaim oleh satu orang warga dari Talang Sari yang mengaku sebagai tokoh tapi dia bukan korban. 

 

"Deklarasi damai sudah kami laporkan ke Ombudsman dan Ombudsman mengumumkan itu mal administrasi. Data meninggal dunia ada 246 orang meninggal dunia, tapi dampaknya sampai ke anak cucu. Untuk saat ini yang kami daftarkan di Komnas HAM ada 96 orang. Kami, sudah investigasi mencari bukti yg masih ada, jika kami diminta menunjukkan bukti-bukti akan kami tunjukkan lokasi pemakaman korban. Yang jelas kami menolak adanya penyelesaian Non-Yudisial," pungkasnya. 

 

 

Perlu diketahui mengutip Wikipedia, Tragedi Talangsari 1989 atau Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). 

 

Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

 

Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. 

 

Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. (Riduan)

BACA JUGA: Bantuan Untuk Kelompok UMKM di Bandar Lampung, Begini Penjelasan Wali Kota 

Saibumi.com

merupakan portal berita Indonesia, media online Indonesia yang fokus kepada penyajian berbagai informasi mengenai berita online Indonesia baik dalam bentuk news (berita), views (artikel), foto, maupun video.

Newsletter Saibumi

BERLANGGANAN BERITA